Wong Kabupaten yang Geluti Batik Khas Kota Pasuruan



“Menjatuhkan pilihan membuat batik khas Kota Pasuruan bukannya tanpa alasan. Ini semua berangkat dari keprihatinan saya, karena setiap kali ada pameran batik di tingkat propinsi, stand Kota Pasuruan selalu kosong,” jawab Isbandi ketika ditanya tentang alasannya mengembangkan batik Kota Pasuruan.
“Saat itu, yang saya lihat hampir semua pengrajinnya sudah tua dan tidak ada satu pun yang berusia muda. Dari situlah hati saya mulai tergerak untuk ikut mengembangkannya,”
Batik bagi Isbandi adalah ketrampilan baru. Dilihat dari silsilah keluarganya, tidak ada satupun yang menggeluti kerajinan ini. Ibunya selama ini berkecimpung sebagai pengrajin bordir tradisional, hampir seluruh saudara ka ndungnya menjadi penjahit. Keputusannya menggeluti kerajinan batik ini didasarkan pada. kemampuannya menggambar sejak kecil.
Awal mula dirinya mulai menggeluti kerajinan dengan peralatan canting ini dari keprihatinannya saat melihat acara televisi yang menyiarkan tentang proses pembuatan batik. “Saat itu, yang saya lihat hampir semua pengrajinnya sudah tua dan tidak ada satu pun yang berusia muda. Dari situlah hati saya mulai tergerak untuk ikut mengembangkannya,” katanya panjang lebar.
Sejak saat itu, dirinya mulai mencari tahu orang di Pasuruan yang mempunyai kemampuan membatik. Proses pencariannya membuahkan hasil dengan dipertemukan dirinya dengan Bu Ifah. Ia adalah seorang pengrajin batik yang tinggal di Kelurahan Tembokrejo. Dari Bu Ifah inilah, Isbandi belajar membatik selama satu setengah tahun. “Pertemuan dengan beliau memang cukup unik. Saat itu, saya mendapatkan pesanan menjahit baju batik dari beliau. Saat mengantarkan pesanan ke rumahnya itulah, saya tahu kalau batik tersebut diproduksinya sendiri,” ungkapnya.
Setelah belajar membatik cukup lama, ia kemudian memutuskan untuk membuka usaha sendiri. Dengan modal awal Rp 300 ribu, ia dapat mengerjakan batik tiga potong. “Dua diantaranya terjual dengan harga masing-masing Rp 200 ribu. lnilah yang kemudian saya jadikan modal bergulir hingga sekarang,” terangnya.
Siap Ajari Secara Sukarela
Saat pertama kali menggeluti kerajinan batik ini, ia hanya mampu memproduksi empat potong per bulannya. Ini semua tidak lepas dari proses pengerjaan, mulai dari menggambar desain, membatik, proses pewarnaan yang dilakukannya sendiri. Namun lambat laun seiring dengan mulai berkembangnya usaha yang digelutinya itu, Isbandi mulai dapat memperkerjakan orang lain. “Sekarang ini ada tiga orang yang membantu saya,” tukasnya.
Ditanya tentang ciri khas terhadap batik hasil karyanya, Isbandi tidak menjawab secara pasti. Ia hanya mengatakan, batik hasil karyanya tetap menonjolkan kembang sirih dan burung kepodang dalam desainnya. “Tetapi tetap saja berbeda dengan batik-batik Kota Pasuruan yang sudah ada,” ujarnya. Sejauh ini, Isbandi hanya memasarkan batik hasil kreasinya secara terbatas. Dia masih memfokuskan pada pangsa pasar dalam kota. Selain itu, dia juga memasarkannya secara door to door. “Saya memang belum berminat untuk menjualnya ke luar kota. Ini dikarenakan kapasitas produksi saya yang masih terbatas serta minimnya modal yang saya miliki,” jelasnya.
Harga yang dipatok Isbandi untuk perpotong batiknya cukup bervariasi, yakni mulai dari Rp 150 ribu sampai dengan Rp 250 ribu. Mahal tidaknya harga batik ini tergantung pada kerumitan corak, panjang pendeknya proses pengerjaannya serta bahan kain yang digunakan untuk membatik.
“Harga batik dengan kain sutera jelas lebih mahal dibandingkan dengan kain katun. Tetapi sampai sekarang saya belum pernah membuat batik dari kain sutera, karena harga kainnya yang mahal,” katanya.
Selain menjadikannya sebagai usaha produktif, Isbandi juga mengatakan kalau dirinya siap mengajarkan ketrampilan membatik ini kepada siapa saja yang berminat mempelajarinya. Hal ini didasarkan pada keinginannya agar kerajinan ini bisa terus lestari. Seperti saat ini, Isbandi mengaku tengah mengajarkan teknik-teknik membatik kepada beberapa orang guru secara privat. “Saya juga mendapat bantuan dana dari sebuah perusahaan melalui program CSR-nya untuk mengajari batik kepada ibu-ibu PKK,” ungkapnya.
Untuk bahan baku pembuatan batik, Isbandi mengaku tidak mengalami kesulitan dalam pemenuhannya. Bahan baku kain, ia beli di Surabaya dengan pertimbangan harga lebih murah dengan pilihan lebih banyak. Sementara untuk bahan pewarna, ia mengaku mengambilnya langsung dari Solo. “Di sana bahannya lebih bagus,” katanya singkat.
Selama ini, untuk proses pewarnaan batiknya, Isbandi masih menggunakan bahan pewarna sintetis. Untuk bahan pewarna alami, diakuinya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa mendapatkan warna yang diinginkannya, karena itu ia jarang sekali menggunakannya. “Untuk satu potong kain batik bila menggunakan pewarna alami bisa sampai 15 kali,” jelasnya.
Pertimbangan lain dirinya tidak menggunakan bahan pewarna alami adalah hasilnya yang cenderung kalem. Menurutnya warna-warna kalem sangat tidak cocok untuk orang Pasuruan yang cenderung memakai warna-warna terang. Isbandi mengaku, meskipun menggunakan pewarna sintesis dia tetap memilih bahan pewarna dengan kualitas bagus. Untuk warna soft dia menggunakan indi crusol. Untuk warna terang memakai naptol dan warna terang sekali dengan remasol.
Khawatir Batik Printing
Sebagai seorang pengrajin batik tradisional, Isbandi mengaku cemas dengan maraknya batik printing di pasaran. Bila tidak ada perlindungan terhadap batik tradisional oleh pemerintah, Isbandi khawatir suatu saat batik tulis ini akan lenyap ditelan jaman. “Dilihat dari kecepatan produksinya saja batik printing ini bisa 100 potong per harinya, sedangkan batik tradisional mungkin 4-5 potong per bulan tergantung berapa banyak pekerjanya. Kalau ini tidak dilindungi jelas nanti di pasaran akan dibanjiri batik printing,” tandasnya.
Selain perlindungan dari pemerintah terkait kelangsungan hidup kerajinan tradisional ini, Isbandi juga berharap adanya keberpihakan pemerintah dalam bentuk pinjaman modal untuk para pengrajin tradisional seperti dirinya. Bantuan modal ini sangat penting untuk bisa mengembangkan usahanya lebih luas. (Cak Alam)
SUMBER
0 komentar:
Posting Komentar