Isbandi Widodo, Pengrajin Batik Khas kota Pasuruan
Wong Kabupaten yang Geluti Batik Khas Kota Pasuruan
Batik adalah warisan nenek moyang dengan cita rasa intemasional. Dengan mengutamakan kreatitas dan seni menggambar, karya asli bangsa Indonesia ini telah mendapatkan pengakuan masyarakat intemasional
dengan menjadikannya sebagai warisan budaya dunia oleh Unesco.
Keberadaan batik di Indonesia memang sudah menyatu kuat dengan denyut
nadi kehidupan masyarakat Indonesia. Hampir di seluruh daerah di Indonesia dapat ditemukan mahakarya ini dengan ciri khasnya masing-masing. Tidak terkecuali Kota Pasuruan yang menonjolkan corak kembang sirih dan burung kepodangnya.
Sebagai
sebuah mahakarya, pelestarian kerajinan batik di Indonesia ini boleh
dikatakan masih sangatlah minim. Tidak terlalu banyak orang yang
berkecimpung menjadi pengrajin seni melukis diatas kain ini. Yang lebih
mengkhawatirkan dari kondisi ini adalah semakin banyaknya batik-batik
printing (cap) dari china yang lambat-laun dapat menggerus keberadaan
batik tradisional kita. Ada berbagai cara agar kerajinan yang
mengandalkan kreatifitas pembuatnya ini tetap lestari, diantaranya
adalah memperkuat lembaga dari para pengrajin batik tradisional serta
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan membatik kepada generasi muda.
Kota
Pasuruan yang selama ini memang minim dengan keberadaan pengrajin
batik, bolehlah berlega hati. Diantara sedikitnya pengrajin batik yang
ada, satu diantaranya masih berusia sangat muda. Dia adalah Isbandi
Widodo seorang pengrajin batik yang masih berumur 30 tahun. Uniknya dari
sosok Isbandi ini adalah, dilihat dari status kependudukannya dia
adalah warga Kabupaten Pasuruan, tetapi selama ini cenderung menggeluti
kerajinan batik dengan corak khas Kota Pasuruan.
“Menjatuhkan pilihan membuat batik khas Kota Pasuruan bukannya tanpa
alasan. Ini semua berangkat dari keprihatinan saya, karena setiap kali
ada pameran batik di tingkat propinsi, stand Kota Pasuruan selalu
kosong,” jawab Isbandi ketika ditanya tentang alasannya mengembangkan
batik Kota Pasuruan.
“Saat itu, yang saya lihat hampir semua pengrajinnya sudah tua dan
tidak ada satu pun yang berusia muda. Dari situlah hati saya mulai
tergerak untuk ikut mengembangkannya,”
Batik bagi Isbandi adalah ketrampilan baru. Dilihat dari silsilah
keluarganya, tidak ada satupun yang menggeluti kerajinan ini. Ibunya
selama ini berkecimpung sebagai pengrajin bordir tradisional, hampir
seluruh saudara ka ndungnya menjadi penjahit. Keputusannya menggeluti
kerajinan batik ini didasarkan pada. kemampuannya menggambar sejak
kecil.
Awal mula dirinya mulai menggeluti kerajinan dengan peralatan canting
ini dari keprihatinannya saat melihat acara televisi yang menyiarkan
tentang proses pembuatan batik. “Saat itu, yang saya lihat hampir semua
pengrajinnya sudah tua dan tidak ada satu pun yang berusia muda. Dari
situlah hati saya mulai tergerak untuk ikut mengembangkannya,” katanya
panjang lebar.
Sejak saat itu, dirinya mulai mencari tahu orang di Pasuruan yang
mempunyai kemampuan membatik. Proses pencariannya membuahkan hasil
dengan dipertemukan dirinya dengan Bu Ifah. Ia adalah seorang pengrajin
batik yang tinggal di Kelurahan Tembokrejo. Dari Bu Ifah inilah, Isbandi
belajar membatik selama satu setengah tahun. “Pertemuan dengan beliau
memang cukup unik. Saat itu, saya mendapatkan pesanan menjahit baju
batik dari beliau. Saat mengantarkan pesanan ke rumahnya itulah, saya
tahu kalau batik tersebut diproduksinya sendiri,” ungkapnya.
Setelah belajar membatik cukup lama, ia kemudian memutuskan untuk
membuka usaha sendiri. Dengan modal awal Rp 300 ribu, ia dapat
mengerjakan batik tiga potong. “Dua diantaranya terjual dengan harga
masing-masing Rp 200 ribu. lnilah yang kemudian saya jadikan modal
bergulir hingga sekarang,” terangnya.
Siap Ajari Secara Sukarela
Saat pertama kali menggeluti kerajinan batik ini, ia hanya mampu
memproduksi empat potong per bulannya. Ini semua tidak lepas dari proses
pengerjaan, mulai dari menggambar desain, membatik, proses pewarnaan
yang dilakukannya sendiri. Namun lambat laun seiring dengan mulai
berkembangnya usaha yang digelutinya itu, Isbandi mulai dapat
memperkerjakan orang lain. “Sekarang ini ada tiga orang yang membantu
saya,” tukasnya.
Ditanya tentang ciri khas terhadap batik hasil karyanya, Isbandi
tidak menjawab secara pasti. Ia hanya mengatakan, batik hasil karyanya
tetap menonjolkan kembang sirih dan burung kepodang dalam desainnya.
“Tetapi tetap saja berbeda dengan batik-batik Kota Pasuruan yang sudah
ada,” ujarnya. Sejauh ini, Isbandi hanya memasarkan batik hasil
kreasinya secara terbatas. Dia masih memfokuskan pada pangsa pasar dalam
kota. Selain itu, dia juga memasarkannya secara door to door. “Saya
memang belum berminat untuk menjualnya ke luar kota. Ini dikarenakan
kapasitas produksi saya yang masih terbatas serta minimnya modal yang
saya miliki,” jelasnya.
Harga yang dipatok Isbandi untuk perpotong batiknya cukup bervariasi,
yakni mulai dari Rp 150 ribu sampai dengan Rp 250 ribu. Mahal tidaknya
harga batik ini tergantung pada kerumitan corak, panjang pendeknya
proses pengerjaannya serta bahan kain yang digunakan untuk membatik.
“Harga batik dengan kain sutera jelas lebih mahal dibandingkan dengan
kain katun. Tetapi sampai sekarang saya belum pernah membuat batik dari
kain sutera, karena harga kainnya yang mahal,” katanya.
Selain menjadikannya sebagai usaha produktif, Isbandi juga mengatakan
kalau dirinya siap mengajarkan ketrampilan membatik ini kepada siapa
saja yang berminat mempelajarinya. Hal ini didasarkan pada keinginannya
agar kerajinan ini bisa terus lestari. Seperti saat ini, Isbandi mengaku
tengah mengajarkan teknik-teknik membatik kepada beberapa orang guru
secara privat. “Saya juga mendapat bantuan dana dari sebuah perusahaan
melalui program CSR-nya untuk mengajari batik kepada ibu-ibu PKK,”
ungkapnya.
Untuk bahan baku pembuatan batik, Isbandi mengaku tidak mengalami
kesulitan dalam pemenuhannya. Bahan baku kain, ia beli di Surabaya
dengan pertimbangan harga lebih murah dengan pilihan lebih banyak.
Sementara untuk bahan pewarna, ia mengaku mengambilnya langsung dari
Solo. “Di sana bahannya lebih bagus,” katanya singkat.
Selama ini, untuk proses pewarnaan batiknya, Isbandi masih
menggunakan bahan pewarna sintetis. Untuk bahan pewarna alami, diakuinya
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa mendapatkan warna yang
diinginkannya, karena itu ia jarang sekali menggunakannya. “Untuk satu
potong kain batik bila menggunakan pewarna alami bisa sampai 15 kali,”
jelasnya.
Pertimbangan lain dirinya tidak menggunakan bahan pewarna alami
adalah hasilnya yang cenderung kalem. Menurutnya warna-warna kalem
sangat tidak cocok untuk orang Pasuruan yang cenderung memakai
warna-warna terang. Isbandi mengaku, meskipun menggunakan pewarna
sintesis dia tetap memilih bahan pewarna dengan kualitas bagus. Untuk
warna soft dia menggunakan indi crusol. Untuk warna terang memakai
naptol dan warna terang sekali dengan remasol.
Khawatir Batik Printing
Sebagai seorang pengrajin batik tradisional, Isbandi mengaku cemas
dengan maraknya batik printing di pasaran. Bila tidak ada perlindungan
terhadap batik tradisional oleh pemerintah, Isbandi khawatir suatu saat
batik tulis ini akan lenyap ditelan jaman. “Dilihat dari kecepatan
produksinya saja batik printing ini bisa 100 potong per harinya,
sedangkan batik tradisional mungkin 4-5 potong per bulan tergantung
berapa banyak pekerjanya. Kalau ini tidak dilindungi jelas nanti di
pasaran akan dibanjiri batik printing,” tandasnya.
Selain perlindungan dari pemerintah terkait kelangsungan hidup
kerajinan tradisional ini, Isbandi juga berharap adanya keberpihakan
pemerintah dalam bentuk pinjaman modal untuk para pengrajin tradisional
seperti dirinya. Bantuan modal ini sangat penting untuk bisa
mengembangkan usahanya lebih luas. (Cak Alam)
SUMBER
Blog List
Selasa, 19 Agustus 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar